Senin, 05 Desember 2011

The Big Four

The Big Four

The Big 4 Auditors adalah kelompok empat firma Jasa profesional dan akuntansi internasional terbesar, yang menangani mayoritas pekerjaan audit untuk perusahaan publik maupun perusahaan swasta. Empat besar auditor tersebut adalah :

  1. PricewaterhouseCooper
  2. Deloitte Touche Tohmatsu
  3. Ernst & Young
  4. KPMG

Pada awalnya kelompok big 4 ini dikenal dengan nama Big 8, akan tetapi dengan melalui serangkaian merger dan juga skandal besar dunia, maka jadilah kelompok ini kita kenal sebagai The Big 4 Auditors. Berikut ini akan saya ceritakan secara singkat tentang perubahan The Big 8 hingga menjadi The Big Four.

Sejarah The Big 4

Pada tahun 1979, ada 8 kantor akuntan publik besar yang dikenal dengan big 8 yang mendominasi di dunia internasional, delapan kantor akuntan tersebut adalah :

  1. Arthur Andersen
  2. Arthur Young & Company
  3. Coopers & Lybrand
  4. Ernst & Whinney
  5. Deloitte, Haskins and Sells (Gabungan Haskins & Sells dengan satu perusahaan di eropa)
  6. KPMG (terbentuk karena bergabungnya Peat Marwick International dan KMG Group)
  7. Price Waterhouse
  8. Touche Ross

Pada Juni 1989 Ernst & Whinney memutuskan untuk bergabung dengan Arthur Young dan kemudian membentuk Ernst & Young . Kemudian pada bulan Agustus ditahun yang sama Deloitte, Haskins & Sells pun melakukan merger dengan Touche Ross yang kemudian menghasilkan kantor akuntan Deloitte & Touche. Maka dengan ini, kelompok big 8 berubah menjadi big 6 .

Pada Juli 1998 Kantor Akuntan Price Waterhouse memutuskan untuk bergabung dengan Kantor Coopers & Lybrand yang kemudian membentuk Kantor akuntan PricewaterhouseCoopers. Dengan terbentuknya kantor akuntan PricewaterhouseCoopers ini, maka kelompok the big 6 berubah menjadi big 5 dengan anggota 5 Kantor Akuntan sebagai berikut :

  1. Arthur Andersen
  2. PricewaterhouseCoopers
  3. Deloitte Touche Tohmatsu
  4. Ernst & Young
  5. KPMG

Pada tahun 2001 terjadi suatu peristiwa yang kita kenal sebagai Skandal Enron. Dalam Skandal Enron ini, kantor akuntan Arthur Andersen didakwa melawan hukum karena menghancurkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pengauditan Enron, dan dianggap menutup-nutupi kerugian jutaan dolar dalam skandal Enron. Kejadian ini menyebabkan kebangkrutan bisnis Arthur Andersen yang bersifat global. Kantor-kantor partner di seluruh dunia yang berada di bawah bendera Arthur Andersen seluruhnya dijual dan kebanyakan bergabung menjadi kantor akuntan internasional lainnya Dengan adanya kejadian ini, maka hanya tersisa empat kantor akuntan internasional yang kita kenal dengan nama big 4 sampai saat ini.

The Big 4 di Indonesia

Berikut ini kantor akuntan Big 4 dengan afiliasinya di Indonesia :

  1. KAP Purwantono, Sarwoko, Sandjaja – affiliate of Ernst & Young
  2. KAP Osman Bing Satrio – affiliate of Deloitte
  3. KAP Sidharta, Sidharta, Widjaja – affiliate of KPMG
  4. KAP Haryanto Sahari – affiliate of PwC

Contoh kasus Pelanggaran Kode Etik Akuntan

Contoh kasus Pelanggaran Kode Etik Akuntan

Beberapa kasus yang hampir serupa juga terjadi di Indonesia, salah satunya adalah laporan keuangan ganda Bank Lippo pada tahun 2002.Kasus Lippo bermula dari adanya tiga versi laporan keuangan yang ditemukan oleh Bapepam untuk periode 30 September 2002, yang masing-masing berbeda. Laporan yang berbeda itu, pertama, yang diberikan kepada publik atau diiklankan melalui media massa pada 28 November 2002. Kedua, laporan ke BEJ pada 27 Desember 2002, dan ketiga, laporan yang disampaikan akuntan publik, dalam hal ini kantor akuntan publik Prasetio, Sarwoko dan Sandjaja dengan auditor Ruchjat Kosasih dan disampaikan kepada manajemen Bank Lippo pada 6 Januari 2003. Dari ketiga versi laporan keuangan tersebut yang benar-benar telah diaudit dan mencantumkan ”opini wajar tanpa pengecualian” adalah laporan yang disampaikan pada 6 Januari 2003. Dimana dalam laporan itu disampaikan adanya penurunan AYDA (agunan yang diambil alih) sebesar Rp 1,42 triliun, total aktiva Rp 22,8 triliun, rugi bersih sebesar Rp 1,273 triliun dan CAR sebesar 4,23 %. Untuk laporan keuangan yang diiklankan pada 28 November 2002 ternyata terdapat kelalaian manajemen dengan mencantumkan kata audit. Padahal laporan tersebut belum diaudit, dimana angka yang tercatat pada saat diiklankan adalah AYDA sebesar Rp 2,933 triliun, aktiva sebesar Rp 24,185 triliun, laba bersih tercatat Rp 98,77 miliar, dan CAR 24,77 %. Karena itu BAPEPAM menjatuhkan sanksi denda kepada jajaran direksi PT Bank Lippo Tbk. sebesar Rp 2,5 miliar, karena pencantuman kata ”diaudit” dan ”opini wajar tanpa pengecualian” di laporan keuangan 30 September 2002 yang dipublikasikan pada 28 Nopember 2002, dan juga menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp 3,5 juta kepada Ruchjat Kosasih selaku partner kantor akuntan publik (KAP) Prasetio, Sarwoko & Sandjaja karena keterlambatan penyampaian informasi penting mengenai penurunan AYDA Bank Lippo selama 35 hari. Kasus-kasus skandal diatas menyebabkan profesi akuntan beberapa tahun terakhir telah mengalami krisis kepercayaan. Hal itu mempertegas perlunya kepekaan profesi akuntan terhadap etika. Jones, et al. (2003) lebih memilih pendekatan individu terhadap kepedulian etika yang berbeda dengan pendekatan aturan seperti yang berdasarkan pada Sarbanes Oxley Act. Mastracchio (2005) menekankan bahwa kepedulian terhadap etika harus diawali dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum mahasiswa akuntansi masuk di dunia profesi akuntansi. Dari kedua kasus di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam profesi akuntan terdapat masalah yang cukup pelik di mana di satu sisi para akuntan harus menunjukkan independensinya sebagai auditor dengan menyampaikan hasil audit ke masyarakat secara obyektif, tetapi di sisi lain mereka dipekerjakan dan dibayar oleh perusahaan yang tentunya memiliki kepentingan tersendiri.

JURNAL PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) PADA DUNIA PERBANKAN

PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)

PADA DUNIA PERBANKAN

Krisis perbankan di Indonesia yang dimulai akhir tahun 1997 bukan semata-mata diakibatkan oleh krisis ekonomi, tetapi juga diakibatkan oleh belum dilaksanakannya Good Corporate Governance dan etika yang melandasinya. Oleh karena itu, usaha mengembalikan kepercayaan kepada dunia perbankan Indonesia melalui restrukturisasi dan rekapitalisasi hanya dapat mempunyai dampak jangka panjang dan mendasar apabila disertai tiga tindakan penting lain yaitu : (1) Ketaatan terhadap prinsip kehati-hatian; (2) Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG); (3) Pengawasan yang efektif dari Otoritas Pengawas Bank.

Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat dan dunia internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia perbankan untuk berkembang dengan baik dan sehat.

PENDAHULUAN

Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat dan dunia internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia perbankan untuk berkembang dengan baik dan sehat.

Oleh karena itu Bank for International Sattlement (BIS) sebagai lembaga yang mengkaji terus menerus prinsip kehati-hatian yang harus dianut oleh perbankan, telah pula mengeluarkan Pedoman Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) bagi dunia perbankan secara internasional. Pedoman serupa dikeluarkan pula oleh lembaga-lembaga internasional lainnya.

Di Indonesia terdapat beberapa peraturan yang telah dikeluarkan berkaitan dengan penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG) antara lain peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 yang disempurnakan dengan peraturan Bank Indonesia No. 8/14/PBI/2006 tentang “Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum”, yang menunjukkan keseriusan Bank Indonesia dalam meminta pengurus perbankan agar taat untuk menerapkan manajemen risiko guna melindungi kepentingan para pemangku kepentingan (stakeholder). Banyaknya ketentuan yang mengatur sektor perbankan dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat menjadikan sektor perbankan sebagai sektor yang ”highly regulated”.

Menurut OECD corporate governance adalah sistem yang dipergunakan untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan bisnis perusahaan. Corporate governance yang mengatur pembagian tugas, hak dan kewajiban mereka yang berkepentingan terhadap kehidupan perusahaan, termasuk pemegang saham, Dewan Pengurus, para manajer, dan semua anggota stakeholders non-pemegang saham. Dengan pembagian tugas, hak, dan kewajiban serta ketentuan dan prosedur pengambilan keputusan penting, maka perusahaan mempunyai pegangan bagaimana menentukan sasaran usaha (corporate objectives) dan strategi untuk mencapai sasaran tersebut.

Kebutuhan untuk menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dirasakan sangat kuat dalam industri perbankan. Situasi eksternal dan internal perbankan semakin kompleks. Risiko kegiatan usaha perbankan kian beragam. Keadaan tersebut semakin meningkatkan kebutuhan akan praktik tata kelola perusahaan yang sehat (good corporate governance) di bidang perbankan.

Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat dan dunia internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia perbankan untuk berkembang dengan baik dan sehat. Oleh karena itu Bank for International Sattlement (BIS) sebagai lembaga yang mengkaji terus menerus prinsip kehati-hatian yang harus dianut oleh perbankan, telah pula mengeluarkan Pedoman Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) bagi dunia perbankan secara internasional. Pedoman serupa dikeluarkan pula oleh lembaga-lembaga internasional lainnya.

Permasalahan yang terjadi Pada sektor Perbankan diantaranya adalah

Kebobolan kredit fiktif miliaran rupiah. Hal ini bermula dari pengajuan kredit terkait suatu proyek oleh sebuah CV sebesar Rp 9,4 miliar. Namun yang disetujui hanya Rp 4,8 miliar dan dalam proses pembayarannya mengalami kemacetan, kredit macetnya sebesar Rp 3,4 miliar. Belakangan diketahui bahwa surat perintah kerja terkait kredit tersebut ternyata dipalsukan. Nilai proyeknya pun sangat jauh lebih kecil dibandingkan dengan pengajuan kreditnya, yakni hanya Rp 92 juta. (Sumber : www.kilasberita.com, 22 Juli 2008).

Baru-baru ini Komite Pemberantasan Korupsi menemukan kasus aliran uang setoran (fee) di Bank Jabar Banten sebesar Rp 148 miliar ke sejumlah pejabat. Kasus ini mirip dengan kasus Bank Century terutama dalam hal pemberian fee kepada sejumlah pejabat. (Sumber : Harian Ekonomi Neraca, 21 Januari 2010 dan Indonesia Monitor, 19 januari 2010).

Korupsi dilakukan mantan Direktur Utama salah satu Bank. Terdakwa dianggap secara sah dan menyakinkan terbukti bersalah merugikan negara sebesar Rp 51 miliar. Salah satu perbuatannya ialah meminta pimpinan bank anak cabang menyetorkan dana untuk komisi dari modal tetapi tanpa bukti administrasi berupa penerimaan. Perbuatan ini dinilai hakim melawan hukum formil, yakni undang-undang dan perbuatan tercela melawan hukum secara materi. (Sumber : www.liputan6.com. 9 April 2010).

Dari beberapa permasalahan tersebut menunjukan bahwa masih lemahnya pengelolaan risiko dan penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) di lingkungan Perbankan. . Permasalahan tersebut bisa menurunkan tingkat kepercayaan nasabah, berpengaruh pada harga saham dan juga pada kepercayaan mitra untuk melakukan transaksi bisnis. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa nama baik perusahaan merupakan salah satu aset yang paling berharga, terlebih lagi untuk industri perbankan yang dasarnya adalah kepercayaan antara penyimpan dana dan penghimpun dana.

Menurut Muchayat dalam artikelnya “Manajemen Risiko dalam Kerangka Corporate Governance”, ada beberapa alasan bahwa di masa datang manajemen risiko akan semakin berkembang. Pertama, adanya Good Corporate Governance (GCG). Skandal akuntansi yang menimpa Enron dan Wordcom, justru terjadi pada manajemen puncak yang seharusnya melakukan pengawasan agar skandal tersebt tidak terjadi. Pasar secara reaktif menghukum perusahaan yang lalai terhadap pengawasan dan pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG).

Kedua, perkembangan teknologi. Khususnya, teknologi informasi (TI) akan meningkatkan peran pengukuran dan pengelolaan risiko. Pemanfaatan TI secara maksimal juga dapat membantu pengawasan dalam menekan terjadinya risiko.

Ketiga, peraturan atau kebijakan pengelolaan risiko. Praktik-praktik pengukuran dan pengelolaan risiko modern termasuk kemampuan untuk melakukan sekuritasi aset terus meningkat, misalnya dengan terbitnya Basel Accord II (sumber : Harian Bisnis Indonesia, 21 Maret 2007)

Good Corporate Governance (GCG) menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) yaitu : “Seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan kata hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang mengarah dan mengendalikan perusahaan.”

Organisasi wajib menerapkan praktik Good Corporate Governance (GCG). Hal ini diperkuat dengan diterbitkannya pedoman umum Good Corporate Governance (GCG) oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang mewajibkan setiap organisasi yang sahamnya telah tercatat di bursa efek, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola dana masyarakat, dan perusahaan-perusahaan yang produk atau jasanya digunakan oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap lingkungan untuk menerapkan praktik Good Corporate Governance (GCG).

Selain itu, Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) menerbitkan pedoman Good Corporate Governance (GCG) Perbankan Indonesia yang merupakan pelengkap dan bagian tak terpisahkan dari pedoman umum Good Corporate Governance (GCG). Pedoman ini dimaksudkan sebagai pedoman khusus bagi perbankan untuk memastikan terciptanya bank dan sistem perbankan yang sehat. Dalam melaksanakan kegiatan usahanya bank harus menganut prinsip-prinsip, sebagai berikut :

1. Keterbukaan (Transparency)

Dalam melaksanakan kegiatan usahanya bank harus menganut prinsip keterbukaan.

2. Akuntabilitas (Accountability)

Bank memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank berdasarkan ukuran-ukuran yang konsisten dengan corporate values.

3. Tanggung Jawab (Responsibility)

Berpegang pada prudential banking practices dan menjamin dilaksanakannya ketentuan yang berlaku sebagai wujud tanggung jawab bank.

Independensi (Independency)

Dalam pengambilan keputusan harus objektif dan bebas dari tekanan pihak manapun.

Kewajaran (Fairness)

Senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran. (Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia KNKCG, 2004)

Menurut Mas Achmad Daniri dan Angela Indirawati (2009:1) dalam artikelnya “Meningkatkan daya saing perusahaan melalui Good Governance” bahwa didalam Pedoman Umum Corporate Governance yang dikeluarkan oleh KNKG merekomendasikan agar dibuat sistem manajemen risiko dan pengendalian internal. Manajemen risiko dimaksudkan agar perusahaan dapat mengidentifikasikan risiko apa saja yang sebenarnya dihadapi dan dampak dari risiko tersebut, baik dari setiap aktivitas operasional, maupun dari kondisi internal dan eksternal yang terkait dengan operasional perusahaan. Dengan mengetahui risiko yang ada, maka kita dapat lebih fokus dalam menyusun strategi dan langkah yang jitu untuk mengatasi dan mengurangi kemungkinan risiko tersebut terjadi.

Terciptanya Good Corporate Governance (GCG) dalam organisasi merupakan salah satu penjabaran dari terlaksananya mekanisme pengelolaan resiko organisasi melalui sistem yang dirancang dalam rangka mengidentifikasi dan menganalisa resiko yang mungkin terjadi, baik yang timbul karena faktor eksternal maupun faktor internal yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan

Good Corporate Governance (GCG) sebagaimana dimuat dalam Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance, Januari 2004 adalah “suatu tata kelola yang mengandung lima prinsip utama yaitu keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), tanggung jawab (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).”

Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No.Kep 117 / M-MBU / 2002 tanggal 1 Agustus 2002, Corporate Governance adalah : “Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan Peraturan Perundangan dan nilai-nilai etika.”

Menurut OECD (The Organization for Economic Cooperation and Development) sebagaimana dikutip oleh Wahyudin Zarkasyi (2008 : 35), Tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) merupakan struktur yang oleh stakeholders, pemegang saham, komisaris dan manajer menyusun tujuan perusahaan dan sarana untuk mencapai tujuan tersebut dan mengawasi kinerja. Hal senada dikemukakan oleh Calbury Comitte (2003), good corporate governance adalah “A set of rules that define a relationship between shareholders, manager, creditor the government, employee and other internal and external stakeholder in respect to their and responshibilities.”

Sedangkan menurut Tricker (2003), tata kelola merupakan “ istilah yang muncul dari interaksi di antara manajemen, pemegang saham, dan dewan direksi serta pihak terkait lainnya, akibat adanya ketidakkonsistenan antara “apa” dan “apa yang seharusnya”, sehingga isu tata kelola perusahaan muncul”.

Dari berbagai pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian good corporate governance (GCG) pada dasarnya merupakan suatu system (input, proses, output) dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapinya tujuan perusahaan. GCG dimasukkan untuk mengatur hubungan-hubungan ini dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan dan untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.

Pilar Pendukung Good Corporate Governance (GCG)

Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar adalah :

1) Negara dan perangkatnya

Menciptakan peraturan perundang-undangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law enforcement).

2) Dunia Usaha

Sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha.

3) Masyarakat

Sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial (sosial control) secara obyektif dan bertanggung jawab.

Prinsip Good Corporate Governance (GCG)

Pengaturan dan implementasi GCG memerlukan komitmen dari top management dan seluruh jajaran organisasi. Pelaksanaannya dimulai dari penetapan kebijakan dasar (strategic policy) dan kode etik yang harus dipatuhi oleh semua pihak dalam perusahaan. Bagi perbankan Indonesia, kepatuhan terhadap kode etik yang diwujudkan dalam satunya kata dan perbuatan, merupakan faktor penting sebagai landasan penerapan GCG.

Berdasarkan pertimbangan di atas dan tingginya tingkat kompleksitas serta risiko bisnis perbankan, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance memandang perlu untuk mengeluarkan Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia sebagai pelengkap dan bagian tak terpisahkan dari Pedoman Umum GCG. Perbankan dalam pedoman ini meliputi bank umum dan BPR yang dijalankan secara konvensional maupun syariah.

Sebagai lembaga intermediasi dan lembaga kepercayaan, dalam melaksanakan kegiatan usahanya bank harus menganut prinsip keterbukaan (transparency), memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank berdasarkan ukuran-ukuran yang konsisten sebagai corporate values, sasaran usaha dan strategi bank sebagai pencerminan akuntabilitas bank (accountability), berpegang pada prudential banking practices dan menjamin dilaksanakannya ketentuan yang berlaku sebagai wujud tanggung jawab bank (responsibility), objektif dan bebas dari tekanan pihak manapun dalam pengambilan keputusan (independency), serta senantiasa memperhatikan kepentingan sluruh stakeholders berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran (fairness). Dalam hubungan dengan prinsip tersebut bank perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

Keterbukaan (Transparency)

Bank harus mengungkapkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh stakeholders sesuai dengan haknya. Informasi yang harus diungkapkan meliputi tapi tidak terbatas pada hal-hal yang bertalian dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan, kondisi keuangan, susunan dan kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali, cross shareholding, pejabat eksekutif, pengelolaan risiko (risk management), sistem pengawasan dan pengendalian intern, status kepatuhan, sistem dan pelaksanaan GCG serta kejadian penting yang dapat mempengaruhi kondisi bank.

Prinsip keterbukaan yang dianut oleh bank tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi. Kebijakan bank harus tertulis dan dikomunikasikan kepada pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan yang berhak memperoleh informasi tentang kebijakan tersebut.

Akuntabilitas (Accountability)

Bank harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing-masing organ organisasi yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha dan strategi perusahaan. Bank harus meyakini bahwa semua organ organisasi bank mempunyai kompetensi sesuai dengan tanggung jawabnya dan memahami perannya dalam pelaksanaan GCG.

Bank harus memastikan terdapatnya check and balance system dalam pengelolaan bank. Bank harus memiliki ukuran kinerja dari semua jajaran bank berdasarkan ukuran-ukuran yang disepakati konsisten dengan nilai perusahaan (corporate values), sasaran usaha dan strategi bank serta memiliki rewards and punishment system.

Tanggung Jawab (Responsibility)

Untuk menjaga kelangsungan usahanya, bank harus : 1) berpegang pada prinsip kehati-hatian (prudential banking practices) dan menjamin dilaksanakannya ketentuan yang berlaku; dan 2) Bank harus bertindak sebagai good corporate citizen (perusahaan yang baik termasuk peduli terhadap lingkungan dan melaksanakan tanggung jawab sosial.

Independensi (Independency)

Bank harus menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh stakeholder manapun dan tidak terpengaruh oleh kepentingan sepihak serta bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest). Bank dalam mengambil keputusan harus obyektif dan bebas dari segala tekanan dari pihak manapun.

Kewajaran (Fairness)

Bank harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran (equal treatment). Bank harus memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholders untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan bank serta mempunyai akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip keterbukaan.

KESIMPULAN

Dengan kata lain, tata kelola yang efektif (good corporate governance) ditetapkan dengan menekankan pada:

1. Pemahaman risiko dan kemampuan manajemen risiko

2. Menyelaraskan atau meluruskan selera resiko (risk appetite) dengan kesempatan yang dimiliki perusahaan.

Menurut F. Antonius Alijoyo, 2002 Sasaran akhir dari Good Corporate Governance adalah menciptakan nilai tambah untuk para pemangku kepentingan, khususnya shareholder dan umumnya stakeholder dengan cara memaksimalkan kinerja perusahaan. memaksimalkan kinerja perusahaan dihadapkan dengan keadaan yang tidak pasti (risiko). Sejak saat itu maka kinerja dengan risiko akan selalu berhubungan, stuktur-struktur dan proses yang mengacu pada penerapan Good Corporate Governance dapat meningkatkan kinerja perusahaan bahkan mengurangi risiko.

DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri BUMN Nomor 117. 2002.Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada BUMN. Indonesia

Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance. 2004. Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia.

Mas Achmad Daniri & Angela Indirawati. 2008. Meningkatkan Daya Saing Perusahaan Melalui Good Governance.www.kadin.or.id diakses 5 April 2010.

Moh. Wahyudin Zarkasyi.2008. Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Manufaktur, Perbankan, dan Jasa Keuangan Lainnya. Alfabeta : Bandung.

Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003.PenerapanManajemenRisikoBagi Bank Umum. Indonesia.

Peraturan Bank Indonesia No.8/4/PBI/2006.Pelaksanaan Good Corporate GovernanceBagi Bank Umum. Indonesia.

Website

Mantan Direktur Bank Divonis Tujuh Tahun Penjara”. www.liputan6.com diakses 10 Maret 2010.

Bank Kebobolan Kredit Fiktif Miliaran Rupiah”. www.kilasberita.com diakses 10 Maret 2010.

Sumber : Jurnal Majalah Ilmiah UNIKOM

Komentar

Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia sebagai pelengkap dan bagian tak terpisahkan dari Pedoman Umum GCG. Perbankan dalam pedoman ini meliputi bank umum dan BPR yang dijalankan secara konvensional maupun syariah.

Good Corporate Governance (GCG) sangat efektif dalam di dunia perbankan, karena membangun kepercayaan masyarakat dan dunia internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia perbankan untuk berkembang dengan baik dan sehat.

Kode Etik Profesi Akuntan Indonesia

Kode Etik Profesi Akuntan Indonesia

Di Indonesia etika tentang akuntan terdapat organisasi profesional yang berkaitan dengan kode etik yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Sejarah tentang kode etik yang dikeluarkan oleh IAI adalah sebagai berikut:

(1) Kongres tahun 1973: Penetapan kode etik bagi profesi akuntan di Indonesia.

(2) Kongres tahun 1981 dan tahun 1986: Penyempurnaan kode etik, nama kode etik sebelum tahun 1986 adalah Kode etik IAI dan kongres tahun 1986 mengubah nama tersebut dengan Kode etik Akuntan Indonesia sampai sekarang.

(3) Kongres tahun 1990 dan tahun 1994: Penyempurnaan kode etik.

Akuntan merupakan profesi yang keberadannya sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat. Sebagai sebuah profesi yang kinerjanya diukur dari profesionalismenya, akuntan harus memiliki keterampilan, pengetahuan, dan karakter. Penguasaan keterampilan dan pengetahuan tidaklah cukup bagi akuntan untuk menjadi profesional.

Etika profesi akuntan di Indonesia diklasifikasikan dalam bentuk kode etik, yang mana struktur kode etik ini meliputi prinsip etika, aturan etika, dan interpretasi aturan etika. Struktur tersebut setidaknya memberikan gambaran akan kebutuhan minimal bagi profesi akuntan untuk memberi jasa yang efektif kepada masyarakat. Terkait dengan hal tersebut Brooks (dalam Ludigdo, 2007) menyebutkan bahwa dalam suatu pedoman akuntan yang dibuat seharusnya berisi beberapa poin pokok. Beberapa poin pokok tersebut adalah :

1. Spesifikasi alasan aturan-aturan umum yang berhubungan dengan :

a. Kompetensi teknis

b. Kehati-hatian

c. Obyektifitas

d. Integritas

2. Memberikan respon :

a. Untuk berperilaku memenuhi kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat

b. Untuk memecahkan konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan, dan antara pihak yang berkepentingan dan akuntan.

3. Memberikan dukungan atau perlindungan bagi akuntan yang akan “melakukan sesuatu dengan benar” (misalnya dengan kode dan laporan masalah etisnya)

4. Menspesifikasikan sanksi secara jelas hingga konsekuensi dari kesalahan akan dipahami.

Dalam kongres V Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) di Surabaya 20-30 Agustus 1986, telah berhasil disahkan butir-butir kode etik profesi akuntan. Kode etik yang dibentuk pada tahun tersebut terdiri dari tiga bagian utama, yaitu :

1. Untuk profesi akuntan secara umum

2. Khusus untuk akuntan publik, dan

3. Penutup

Pembukaan pada prinsip etika profesi akuntan antara lain menyebutkan bahwa dengan seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri melebihi yang disyaratkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku. Selain itu prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi. Sementara itu prinsip etika akuntan atau kode etik akuntan itu sendiri meliputi delapan butir pernyataan (IAI, 1998, dalam Ludigdo, 2007). Kedelapan butir pernyataan tersebut merupakan hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang akuntan. Delapan butir tersebut terdeskripsikan sebagai berikut :

1. Tanggung jawab profesi :

Bahwa akuntan di dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai profesional harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.

2. Kepentingan publik :

Akuntan sebagai anggota IAI berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepentingan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.

3. Integritas :

Akuntan sebagai seorang profesional, dalam memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya tersebut dengan menjaga integritasnya setinggi mungkin.

4. Obyektifitas :

Dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya, setiap akuntan sebagai anggota IAI harus menjaga obyektifitasnya dan bebas dari benturan kepentingan.

5. Kompetensi dan kehati-hatian profesional :

Akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi, dan teknik yang paling mutakhir.

6. Kerahasiaan :

Akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.

7. Perilaku profesional :

Akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya.

8. Standar teknis :

Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus dapat mematuhi standar teknis dan standar profesional. Sesuai dengan keahliannya dan harus berhati-hati, karena akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugas yang membutuhkan jasanya selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas.

Untuk memberikan pedoman etika khususnya di bidang etika profesi akuntan publik , IAI Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP) telah menyusun aturan etika . Dalam aturan ini, anggota IAI-KAP dan staf profesional (baik yang anggota maupun yang bukan anggota IAI-KAP) yang bekerja di suatu kantor akuntan publik harus mematuhi aturan etika tersebut6t. Aturan ini meliputi tentang:

1. Independensi, Integritas, dan Obyektifitas.

· Indenpendensi

Dalam menjalankan tugasnya anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap dengan mental independen di dalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur dalam Standar Profesional Akuantan Publik yang ditetapkan oleh IAI. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (infacts) maupun dalam penampilan (in appearance).

Independen berarti bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain dan tidak tergantung pada orang lain. Tiga aspek dalam independensi auditor, yaitu:

(a) Independensi dalam diri auditor (independence in fact): kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan berbagai faktor dalam audit finding.

(b) Independensi dalam penampilan (perceived independence). Independensi ini merupakan tinjauan pihak lain yang mengetahui informasi yang bersangkutan dengan diri auditor.

(c) Independensi di pandang dari sudut keahliannya. Keahlian juga merupakan faktor independensi yang harus diperhitungkan selain kedua independensi yang telah disebutkan. Dengan kata lain auditor dapat mempertimbangkan fakta dengan baik yang kemudian ditarik menjadi suatu kesimpulan jika ia memiliki keahliam mengenai hal tersebut.

· Integritas dan Obyektifitas

Integritas adalah auditor yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan apa yang diyakini kebenarannya tersebut kedalam kenyataan.

Obyektifitas adalah unsur karakter yang menunjukkan kemampuan seseorang maupun menyatakan kenyataan sebagaimana adanya, terlepas dari kepentingan pribadi maupun kpentingan pihak lain.

Dalam menjalankan tugasnya anggota KAP harus mempertahankan integritas dn obyektivitas, harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh mmebiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain.